Sabtu, 21 Februari 2015

BENGKOKNYA NALAR SEBAGAI SUMBER KEPICIKAN DAN INTOLERANSI

Kata Imam Ghazali, di antara tanda2 ULAMA BURUK (ulama al-su'): terlalu gampang beri fatwa tanpa mendalami dalil & masalahnya Kalo ada yg takut imannya goyah krn ngucapin selamat hari raya agama lain, ya perkuat dulu imannya. Tak lantas ucapan selamatnya haram. "Kepicikan dan Intoleransi yg Muncul krn Bengkoknya Penalaran dlm Memahami Hukum Islam." Setiap ada hari raya agama lain, sebagian kalangan Islam ada yg memvonis ucapan selamat hari raya tsb sbg haram, bahkan syirik. Yg diributkan pun belakangan semakin meluas, tak hanya hari raya agama. Bkn hanya natal dan imlek, tp juga tahun baru, Valentine dll. Ada dua alasan yg sering dipake sbg dasar pengharaman: merusak aqidah, dan tasyabbuh (penyerupaan) thd orang kafir, Sebarapa meyakinkan alasan pengharaman tsb, ditinjau dari perspektif hukum Islam? Pertama, soal ucapan selamat hari raya agama lain. Gak ada yg mengharuskan muslim thd ucapan ini. Kalo mau monggo, gak jg oke. Ucapan selamat hari raya agama lain mrpkn tatakrama sosial dlm masy modern yg majemuk. Juga krn kita adlh saudara sebangsa. Persoalannya, ada sebagian kalangan Islam yg mengaitkan ucapan selamat thd hari raya agama lain sbg ancaman thd aqidah, Tp seberapa meyakinkan pandangan seperti itu? Pada prinsipnya, tauhid bagi muslim bersifat mutlak, tak boleh dikompromikan. Artinya, seorang muslim diharamkan mengimani ajaran teologi agama lain. Syirik/ menyekutukan Allah/ idolatry adlh dosa terbesar Namun, apakah ucapan selamat hari raya agama lain mengandung arti setuju dgn keyakinan agama tsb? Di sinilah letak masalahnya. Kalo ada yg takut kalo ngucapin selamat hari raya agama lain akan merusak imannya, ga usah ngucapin. Kuatin dulu imannya, Tapi tak lantas ketakutannya itu jadi dasar pengharaman, trus melarang muslim lain yg ngucapin selamat hari raya agama lain. Knp? Krn ucapan natal kpd umat Kristen artinya "selamat bergembira, Anda merayakan natal." Bukan "saya setuju dgn iman Anda." juga selamat imlek, waisyak, hari raya yahudi, dll. Maknanya:selamat bergembira dgn merayakannya. Bukan "saya setuju dgn imanmu." Dgn kata lain, ini semata2 soal tatakrama pergaulan dlm masy yg majemuk. Dan juga tidak harus. Kalo males ngucapin ya ga apa. Di situlah keberatan utama saya dgn mereka yg mengharamkannya. Silakan haramkan utk diri sendiri, tp jgn menghakimi sikap yg beda, Knp? krn yg ngucapin selamat hari raya agama lain tak kaitkan itu dgn aqidah. Mrk hanya ingin "tepo seliro" dgn pemeluk agama lain. Anehnya, mrk yg mengharamkan berlindung di balik klaim toleransi. Bagi mrk, yg mengkritik (seperti saya ini) dicap tidak toleran, Bagi saya itu menggelikan, krn di satu sisi mrk gak mau disebut intoleran, tp di sisi lain mrk NGRECOKIN hari raya agama lain, Kalo betul mau toleran n hormati hari raya agama lain, ya jgn menebar fatwa haram ke yg ngucapin selamat hari raya agama lain. Makanya dari awal saya bilang, kalo ada yg takut aqidahnya terganggu, ya jgn ucapin. Tp jgn larang orang lain yg melakukannya. Pengharaman selamat hari raya agama lain tsb ada miripnya dgn kaum wahabi yg haramin ziarah kubur, keris dll, krn dianggap syirik.Bagi kaum Wahabi/ Salafi, ziarah kubur, keris dll haram krn itu niscaya membawa ke syirik. Di sini ada penalaran yg bengkok. Bahwa syirik itu haram, dosa besar itu iya. Tp tak lantas orang yg ziarah kubur dan berkeris memaknainya seperti yg mrk bayangkan, Lagipula, syirik atau tidaknya hal tsb tergantung pada niat/ tujuan pelaku, yg letaknya di hati. Ga bisa dinilai dari luar. Peziarah kubur, berkeris, seniman yg bikin gambar/ patung tak bisa divonis syirik hanya krn kaum wahabi menganggapnya begitu,Thd kepicikan a la Wahabi ini, Emha dgn jengkel berseloroh, "kalo semua kau anggap syirik, modiarr aja kon (mati aja kamu). Cak Nun: Jika Semuanya Dianggap syirik, "Mati" Aja Kamu! tinyurl.com/m3syuwg via @nu_online Ini jg menarik >> MAHA SATPAM, Emha ttg golongan Islam yg suka mencap sesat & kafir: cangkruanmalam.blogspot.com/2013/02/maha-s… … … Dari paparan di atas, saya melihat adanya gejala yg saya sebut sbg "penalarang yang bengkok dlm memahami hukum Iislam." Yakni adanya tenedensi utk mereduksi/ bahkan mendistorsi pemaknaan thd sesuatu, lalu ketakutan sendiri, trus diharamkan. Ucapan selamat hari raya disempitkan/ dibelokkan artinya sbg "setuju aqidah agama lain", trus ketakutan sendiri, trus diharamkan,Bahwa tauhid tak boleh terkontaminasi, itu harus. Tp ucapan selamat hari raya agama tak lantas identik dgn kontaminasi aqidah. Bengkoknya penalaran juga ada pd pengharaman Valentine, krn diidentikkan dgn maksiat. Jadi Valentine disempitkan/ didistorsi maknanya sbg niscaya identik dgn maksiat, trus ketakutan sendiri, trus diharamkan. Bahwa maksiat (zina misalnya) haram, itu YA. Kapanpun itu haram, baik dilakukan pas Valentine, atau di luarnya, Soalnya di maksiat. Org yg tak rayakan Valentine tp maksiat, ya haram. Sebaliknya, yg ber-Valentine tp tak maksiat, ya ga apa2. Ada yg mengidentikkan Valentine dgn maksiat dgn menyebut sejarahnya yg konon bermula dari pesta seks. Tp benarkah begitu? Pdhl Valentine jadi simbol kasih sayang justru krn spiritnya adlh membela "kesucian" perkawinan. Baca ini: huffingtonpost.com/2014/02/13/val… Tp lepas dari sejarahnya, Valentine saat ini adlh ikon/ komdoditas globalisasi yg pemaknaannya tergantung sang konsumen. Ada orang yg merayakannya dgn maksiat, dan itu jelas haram. Tp ada yg merayakannya tanpa maksiat sama sekali, itu berarti halal. Kalo misal Mas addiems bikin konser Valentine, Mbah sudjiwotedjo bikin wayangan Valentine dgn tema #talijiwo, tentu ga haram kan? Makanya di kultwitku kubilang, dlm soal kek Valentine, hukumnya tergantung tujuannya. Al umuru bi maqashidiha. Tp bukankah meniru kafir itu haram, sesuai hadits "barang siapa yg menyerupai suatu kaum, maka ia bagian dari kaum itu"?Bgmn kita memahami hadits penyerupaan tsb? Sebagian muslim memakai hadits tsb secara hantam kromo. Apapun yg meniru kafir dicap haram. Ironisnya, yg mengklaim haramnya meniru kafir justru rajin twitteran dan fesbukan, yg sejatinya mrpkn tindakan meniru Barat juga, Lagian, kalo umat Islam amalkan hadits penyerupaan scr sempit, justru merepotkan diri sendiri. Banyak dari Barat yg ditiru. Krn itu, hadits penyerupaan tsb tak bisa di-generalisir, tp hrs dipahami scr kontekstual, dgn melihat konteks sosio-kultural skrg. Di sini saya ingin mengutip fatwa ulama Al Azhar pd 1930-an ttg bgmn hukumnya muslim menyerupai umat non muslim. Fatwa ulama Univesitas Al Azhar, Muhammad Al Khudlr Husein itu dimuat di "Nurul Islam," majalah Al Azhar, Vol. 3, 1932 Di awal tulisannya, Syaikh M Khudlr Husein mengutip Ibnu Khaldun yg bilang, ketika dua peradaban bertemu dan berkonfrontasi, maka Adalah mrpkn hukum alam bahwa peradaban yg kalah/ inferior akan meniru peradaban yg menang/ superior, tp dgn tujuan yg berbeda2. Hal yg sama jg terjadi pada peradaban muslim awal pada masanya, khususnya di Mesir. Berhadapan dgn Barat yg superior dlm segalanya,peradaban Islam yg dlm posisi inferior telah dan akan meniru/ mengadopsi Barat, bahkan demi utk mengalahkannya sekalipun. Dlm situasi seperti itu, Syaikh Khudlr Husein mengajukan pertanyaan ttg bgmn hukumnya muslimin meniru al ajanib (bangsa lain). Mnrtnya, larangan tasyabbuh (penyerupaan) mrpkn pesan Nabi agar umat Islam punya "strategi kebudayaan" mempertahankan jati dirinya, Yg jelas diharamkan adlh peniruan dlm aspek2 ritual/ ibadah. Juga peniruan yg bertujuan utk tegaknya syiar agama lain. Adapun peniruan yg tak terkait ritual dan syiar agama lain maka hukumnya tergantung maksud dan tujuannya. Peniruan/ tasyabbuh bisa mrpkn keharusan kalo tujuannya demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat islam itu sendiri, Misalnya peniruan thd Barat dlm iptek, tata pemerintahan yg rasional dan modern. Itu bkn hanya boleh, tp justru harus. Syaikh Khudlr Husein menganalogikannya dgn Nabi yg bersedia meniru strategi perang Persia usulan Salman Al Farisi dlm Perang Khandaq.Membuat parit mengelilingi Madinah adlh bentuk peniruan thd strategi perang bangsa Persia yg nonmuslim saat itu. Tp Nabi oke dgn itu. Peniruan bisa jg mubah kalo menyangkut hal mubah, bisa makruh kalo menyangkut hal makruh, haram kalo menyangkut hal haram, Kesimpulannyal, peniruan/ tasyabbuh hukumnya beragam, tergantung pada tujuannya. Tak bisa digeneralisir sbg semata2 haram. Paparan Syaikh Al Azhar tsb sejalan dgn prinsip hukum Islam yg saya sebut sblmnya: hukum segala sesuatu tergantung tujuannya. Krn itulah hadits "barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dlm kaum itu" tak bisa dipahami secara sempit dan leterlek. Dgn tulisan ini ttg selamat hari raya agama lain, ttg Valentine dll, saya tak lantas mengharuskannya. Yg mau monggo, yg gak juga ok. Saya hanya ingin masalahnya tidak dilihat dgn sikap parno, dan tidak didekati dgn cara pandang yg sempit dan leterlek. SEKIAN.SALAM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer